Sabtu, 10 Mei 2014

Arti Sebuah Janji



Oleh  :  Endah Mardyanti
S
ebagaimana hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan entah berapa kemarin yang telah lewat, pukul 4.30 alarm  hand phoneku  berbunyi. Bagiku, lantunan nada mystique punya daya lebih tajam  untuk  menembusi alam  bawah  sadar. Matahari benar-benar masih misterius. Pagi yang masih menyisakan  malam dan menjanjikan siang.
Hand phoneku  melantunkan daftar lagu yang  kuberi judul: “Respect”.  Lagu dari grup favoritku  itu paling  pas didengar saat gairah pagi sedang sembunyi.
Aku  tidak  langsung  mandi. Yang  pertama  kulakukan  adalah menenggak segelas air putih di meja kamarku, lalu menyiapkan secangkir teh  hangat. Cadangan makanan sampai pulang sekolah nanti kudapatkan dari sepiring nasi dan sebutir telur yang digoreng dadar setengah matang. Walau hanya sarapan dengan itu, aku sudah merasa nikmat.
Selesai sarapan, aku  mandi memakai air bak saat cuaca sedang bersahabat maupun tidak. Selesai mandi, aku bersiap-siap mengenakan seragam sekolah dan menyiapkan jadwal yang akan kubawa ke sekolah nanti. Hal itu kulakukan diiringi lagu yang kuberi judul: “Mlaku – Mlaku”. Isinya adalah lagu-lagu pembangkit semangat agar aku bisa tiba di sekolah dengan berseri-seri, tersenyum dan menyapa semua orang, dari satpam TK di sebelah sekolah sampai  teman kelasku  satu persatu.
Seperti biasa, untuk berangkat sekolah pun aku harus nebeng tanteku dengan motor Scoopy miliknya apabila aku malas jalan kaki. Di sekolah pun aku sudah sangat terbiasa dengan keadaan yang membosankan. Hanya terkadang beberapa temanku yang unik itu membuatku nyengir dan tertawa membahana. Hingga sesampainya di rumah aku makan, baca buku sebentar, nonton TV, makan malam, lalu tidur. Ya, begitulah kegiatanku selama ini. Aku merasa tak ada something special dalam hidupku ini.
Hingga saat aku duduk melamun di kursi panjang depan rumah nenekku, menantikan tebengan tanteku muncul, mengalihkan suara-suara bising kendaraan yang lewat. Pikiranku kosong. Entah, menari-nari di mana alam bawah sadarku saat itu.
“Grrenngg grrenngg ggrr”. Seorang pria muda memacu  pelan  motornya, bahkan sangat pelan, lewat di depanku seraya memandangiku dengan tatapan tajam. Aku yang sedari tadi melamun tiba-tiba sadar bahwa ada seorang pria muda tengah memandangiku, bahkan tanpa berkedip. Dengan mimik wajah telmi khas yang ada pada diriku, aku memandanginya sama seperti pria itu memandangiku.
Sampai kepalanya berputar, bisa dihitung 180­­o hanya untuk memandangiku. Ohh, aku hanya bisa nyengir padanya. Langsung seperti tersembul badai! Ya, ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Kencang sekali.
“Sepertinya aku pernah lihat orang itu. Tapi di mana ya? Restiiii kenapa kamu ngoh sekali?”. Aku berpikir sejenak, mencari memori yang tersembunyi dalam otakku ini, pelan tapi pasti. “Hey! Bukankah pria barusan itu teman  facebookku?”. Aku baru tersadar. “Tapi siapa ya? Aku lupa iiihh!”
Di sekolah pun aku masih terbayang-bayang pria misterius tadi pagi itu. Aku penasaran. Hingga sesampainya di rumah, aku langsung pegang hand phone dan online seketika itu juga. Aku berharap akan menemukan pria misterius itu.
Ada satu message  di  facebookku! Aku semakin penasaran dibuatnya. Dengan cepat aku membuka message itu. Wow! Pria tadi pagi itu mengirim message untukku. Dalam  pesannya, dia meminta nomor hand phoneku. Namun aku tak langsung memberinya karena aku tak mengenal pria tadi pagi itu. Dengan chat yang begitu panjang akhirnya aku memberikan nomor hand phoneku. Ada sentilan rasa berbeda pada hatiku dalam menanggapinya. Ada apa ini???
Setelah beberapa hari aku SMS-an dengannya, aku mulai bisa memahami bagaimana karakteristik pria yang semula kuanggap misterius itu. Nama pria itu Zuhri. Singkat cerita tentang Zuhri: dia bandel banget, orang tuanya pun seakan menyerah untuk menasihatinya. Zuhri senang ikut balap liar, dia punya mantan banyak banget, pokoknya dia nakal banget. Tapi, kalau dengan orang tua, dia sopan banget.
“Resti, jujur aku mulai suka sama kamu.” SMS pertama Zuhri untuk hari itu. Hatiku berdesir. “Resti, kamu mau tidak jadi pacarku?” SMS Zuhri selanjutnya. Jantungku serasa berhenti untuk berdegup. “Maaf, Mas, aku belum siap buat pacaran. Maaf banget ya??” balasku agak lama.
“Res, aku serius loh ini. Aku bener-bener sayang sama kamu,”
“Maaf, Mas, aku belum minat buat pacaran”
“Res, aku serius sayang banget sama kamu,”
“Maaf, Mas, aku belum berani.”
“Ya sudahlah, Res. Tapi aku bakal nunggu kamu sampai kamu mau pacaran.”
“Oke. Silakan, Mas,”
“Makasih ya, Res,”
“Sama-sama, Mas”
Dua minggu berlalu saat  Zuhri mulai menungguku. Aku jadi ada teman untuk sharing cerita-cerita tentang hidupku, cerita tentang aku, dan dia pun juga banyak bercerita padaku. Hidupku serasa terisi. Tak ada kata sepi yang selama ini menyelimutiku.
***
Awan hitam menggantung sejak zuhur tadi. Kutunggu, namun awan tak kunjung menumpahkan airnya. “Beep beep beep beep” dering hand phone mengagetkanku. “Res, kita ketemu di lapangan ya? Aku tunggu loh”. Aku bingung harus ngomong apa. Hand phone pun kumatikan. Perlahan tapi pasti. Kuputuskan untuk menemuinya sore yang mendung ini di lapangan.
Setibaku di lapangan. Ternyata dia lebih dulu nunggu aku di sana. “Kamu lama banget?” katanya mengawali pembicaraan. “Ehehehe... Ya maaf, Mas,” sahutku gugup. Badanku serasa gerah meski cuaca sedang tak mendukung. Tiba-tiba uap air turun perlahan. Lebih kecil dari gerimis, juga lebih kecil dari rintik. Entah, aku tidak bisa mendefinisikannya.
“Mas, pulang yuk! Udah mau hujan nih!”
“Ah, kok bentar banget sih? Ntar dulu dong, Res”
“Duh, ntar kalau aku kehujanan gimana dong?”
“Kita kan bisa berteduh di situ nanti. Gitu aja repot sih, Res”
Aku terdiam. Menikmati suasana berdua bersama Zuhri. Namun, tiba-tiba hujan turun. Kami berlari menuju tempat berteduh yang sudah direncanakan. Di bawah reservoir “Penguin”. Mungkin tempat semacam itu terdengar jauh dari kata romantic. Bagiku, bisa di dekatnya pun merupakan hal yang paling romantic di dunia ini.
Kaos putih yang kukenakan menjadi sedikit lembab akibat percikan air dari pinggir tower yang terbuka. Aku pun menggigil kedinginan menimbulkan suara gemelitik dari gigiku. Tiba-tiba Zuhri melepas jaket yang ia kenakan dan meletakkannya di bahuku. Wow! Aku nge-fly dibuatnya. Setelah hujan reda, kami pulang bersama. Satu hal yang kukagumi, dia tidak sedikitpun menyentuhku!
***
Namun, semuanya mendadak berubah setelah aku tahu kalau dia ternyata main-main di belakangku. Ya, hal yang paling tak kuduga tiba-tiba menyambarku. Zuhri ternyata masih ingin bersama dengan kekasihnya dahulu, dan dia ternyata PHP  padaku. Aku hanya dijadikan sebagai Boneka Pelampiasannya. Sungguh hal ini membuat hatiku petang.
“Mas, jangan nunggu aku lagi. Makasih, ya,” kukirim pesan singkat itu padanya. Namun, apa yang terjadi? Zuhri memarahi aku! Zuhri mencaci maki aku lewat huruf-huruf yang diukir pada pesan singkatnya. Aku yang ada di seberang terus menangis tak kuasa menahan rasa sakitnya jadi boneka pelampiasan, serta dimarahi.
Hingga akhirnya, jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 23.07. Zuhri menelponku. Aku sudah capek nangis terus. Kumatikan tiap telepon dari Zuhri. “Res, angkat please”. Zuhri meneleponku beberapa kali, akhirnya aku pun mengangkatnya. Tangisannya menjadi-jadi dalam telepon itu. Sesekali sesenggukannya pun menyelimuti telingaku.
“Res, please, maafin aku, hiks hiks”
“Engga, Mas,”
Please, Res, aku khilaf. Kasih aku kesempatan sekali lagi biar aku bisa buktiin kalau    aku bener-bener saying sama kamu”
“Iya, Mas, iyaa... tapi kesempatanmu cuma sekali, Mas,”
“Restiiii... Makasih, Res, aku janji engga bakal nyakiti kamu lagi, Res, makasih, Res, aku sayang kamu”
Sejak kejadian itu pun Zuhri tak pernah menyakiti aku lagi. Dari itu aku bisa menyimpulkan kalau Zuhri memang serius padaku. Hal itu terbukti dengan setianya dia menunggu aku meskipun aku belum mengatakan bersedia menjadi pacarnya. Terhitung hingga saat ini, Zuhri telah menungguku hampir satu tahun. Yah, kurang lebih selama 11 bulan dia menungguku.
***
Sore itu, aku bertemu lagi dengan Zuhri. Tempatnya pun sama. Di lapangan yang dulu itu. Kini Zuhri berbeda. Seakan senyumnya itu sepenuhnya untukku. Betapa meledaknya rasa sumringah di dalam jiwaku ini.
Di sela-sela pertemuan kami itu, Zuhri bercerita banyak tentang bagaimana kelakuannya dulu. Kata Zuhri, aku adalah wanita yang berhasil membuat hidupnya berubah total. Di sela-sela ceritanya, kita pun banyak bercanda. Keceriaannya terpancar ketika ia tertawa. Betapa manis dan tampan dia ketika tertawa.
“Res, dulu aku tuh nakal banget, bandel kalau dibiangin sama bapak ibu. Dulu aku ikutan balap liar, tapi setelah ada kamu di sampingku aku bisa berhenti, kan, Res? Dulu aku juga bejat kalau lagi pacaran. Pelukan, ciuman, sudah jadi makananku tiap malam Minggu. Tapi, sekarang, setelah aku kenal kamu aku udah engga gila lagi kaya dulu. Aku udah bisa mikir lebih dewasa sekarang. Pernahkah aku megang kamu? Engga kan, Res? Itu karena aku bener-bener sayang sama kamu, Res,”
“Ehehehee... iya, Mas Zuhri, aku percaya kok,” jawabku tersipu-sipu.
Do you hear me? I’m talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I’m trying
Hay I hear youin my dreams
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my heart
You make it easier when life gets hard
Lantunan lagu dari Jason Mraz keluar dari mulutnya. Aku tersenyum dan serasa terbang ke laut Atlantis. Sungguh indah.
I’m lucky I’m in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Ooohh oooh oooh
 Kami pun melanjutkan lagu Jason Mraz itu dan bernyanyi bersama. Seketika itu kami tertawa bersama. Aku kagum padanya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar